Berebut Tahta di Jawa
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBArtikel ini mencoba menjelaskan kaitan antara hasil Pilkada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan hasil Pilpres.
Studi-studi tentang insentif elektoral telah dilakukan sejumlah sarjana. Woon (2014) melakukan eksperimen dengan menguji apakah kebijakan yang populis dapat membuat calon tersebut mendapat insentif elektoral. Shomer (2014) mencoba melihat adanya insentif elektoral dalam kasus parlemen di Israel selama 1967-2007. Sayangnya, studi-studi tersebut mengambil studi kasus di luar Indonesia. Studi tentang insentif elektoral di Indonesia belum tersedia.
Berkaitan dengan hal itu, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2018 ini terbilang istimewa. Salah satunya karena pilkada tahun ini hanya setahun menjelang hajatan besar pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif. Tanpa bermaksud mengesampingkan daerah-daerah lain, tiga daerah yang akan menggelar pilkada memiliki jumlah pemilih yang jika ditotal setara dengan 46,8 persen (atau 92 juta orang lebih) pemilih nasional (Kemendagri, 2017). Daerah itu adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pengalaman Pilkada 2008 dan 2013 menunjukkan tidak mutlak sepenuhnya linear antara pemenang Pilkada di tiga daerah itu dan hasil pilpres di sana. Sebagai contoh, pada tahun 2008, kemenangan PDIP dalam pilkada Jawa Tengah ternyata tidak berdampak pada kemenangan Megawati-Prabowo Subianto kala itu. Begitu pula, dalam Pilkada Jawa Timur 2013, kekalahan calon gubernur dari PDIP tidak membuat Jokowi tak dapat meraup suara paling besar di sana.
Meskipun demikian, setiap partai politik tetap menunjukkan kehati-hatian dalam mengajukan pasangan calon mereka. Mayoritas partai pengusung calon gubernur di tiga daerah itu lebih memilih untuk mengumumkan calon mereka hampir mendekati hari pertama masa pendaftaran calon. Mengapa perebutan kekuasaan di tiga wilayah itu menjadi terlihat begitu penting? Saya berpendapat bahwa hal itu disebabkan oleh setidaknya dua insentif elektoral yang didapat partai politik dari hasil pilkada.
Konsep insentif elektoral sering dikaitkan dengan sistem pemilu, mengingat pilihan sistem pemilu berimplikasi terhadap insentif elektoral yang didapat oleh kandidat atau partai politik (Bawn dan Thies, 2001; Menocal, 2014). Padahal, istilah insentif elektoral lebih luas dari itu. De Mosquita (2016) berpendapat bahwa insentif elektoral adalah apa yang didapat oleh seorang kandidat atau sebuah partai politik dalam pemilu dari apa yang mereka lakukan sebelum pemilu. Finan (2017) menambahkan,dengan melakukan pengalokasian sumber daya untuk publik, elite dan partai politik dapat meraih insentif elektoral ketika pemilu berlangsung.
Lantas, apa saja insentif elektoral yang didapat partai dari memenangi pilkada? Pertama, menaikkan psikologis politik dalam mempersiapkan diri menyambut Pilpres. Andreas Pareira dari PDIP mengatakan bahwa kemenangan di Pilkada Serentak di Jawa tahun ini akan memberi motivasi lebih bagi partainya untuk meraih kemenangan di Pemilu 2019. Arief Poyuono dari Partai Gerindra menyebutkan bahwa Pilkada di Jawa menjadi ajang pemanasan pilpres 2019. Arif menambahkan, “Jawa harus kita kuasai, karena Jawa adalah kunci..” Hal yang serupa juga diutarakan oleh Roy Suryo dari Partai Demokrat, yang menilai bahwa kemenangan pada pilkada di Jawa akan berpengaruh besar terhadap hasil pilpres (dan pemilihan legislatif) 2019. Walaupun begitu, Roy berpendapat hal itu tidak bersifat mutlak.
Kedua, peluang menggerakkan kader yang terpilih menjadi kepala daerah nanti mensukseskan kemenangan partai tersebut dalam pilpres 2019. Belum lama ini beredar berita tentang kontrak politik antara salah satu bakal calon kepala daerah di Jawa Barat dengan salah satu partai politik. Salah satu poin dari kontrak itu adalah calon tersebut mesti membantu pemenangan calon presiden yang diusung oleh partai itu. Apakah mungkin hal ini terjadi? Tentu saja sangat mungkin dan masuk akal. Kepala daerah punya wewenang untuk membuat kebijakan-kebijakan di tiap daerah. Dalam konteks tertentu, alokasi dari kebijakan seperti bantuan untuk perbaikan atau pembuatan jalan, bisa jadi sangat politis karena mungkin saja disesuaikan dengan tujuan memenangkan partai politik yang ikut dalam pilpres. Dua insentif elektoral di atas sejalan dengan apa yang dimaksud oleh de Mosquita.
Kemudian, walaupun kelihatannya hubungan antara pilkada dan pilpres terkesan sederhana, ketidakparalelan hasil pilkada dan pilpres (pada 2008-2009 dan 2013-2014) menunjukkan indikasi bahwa ada variabel lain yang juga perlu diperhitungkan ketika pilpres berjalan. Variabel itu adalah figur calon presiden.
Perebutan posisi jawara di Pilkada Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur masih tetap berlangsung sengit dan menjadi perhatian dari para partai politik pengusung karena yang meraih kursi nomor satu di daerah-daerah itu akan mendapatkan insentif-insentif elektoral dalam pilpres. Namun, faktor figur calon presiden juga tetap mesti menjadi perhatian partai politik peraih takhta di wilayah itu ketika pilpres berlangsung.
*) Penulis adalah Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Dimuat di Koran Tempo, 17 Januari 2018
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Berebut Tahta di Jawa
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMembangun Jakarta Minus Konsep
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler